
Seputarbola.org – Diego Simeone masih setia dengan setelan hitam-hitamnya yang khas, namun aura intimidasi yang dulu melekat pada Atletico Madrid seolah mulai memudar.
Di seberang lapangan, Luis Enrique justru tampil santai dengan celana pendek, mencerminkan kepercayaan diri timnya PSG yang sedang berada di puncak performa.
Laga di Rose Bowl ini lebih dari sekadar pertandingan Piala Dunia Antarklub. Ini merupakan benturan dua filosofi manajerial yang sedang berada di jalur yang berbeda.
PSG menang dengan tempo santai sekaligus dominan, sementara Atletico tampak kehilangan identitas yang dulu membuat mereka ditakuti lawan. Kekalahan ini memantik pertanyaan besar:
Apakah era keemasan Simeone bersama Atletico sudah mencapai titik akhir?Atau ini hanya fase sulit yang akan segera berlalu?
Kontras Gaya Kepelatihan: Militansi vs Modernitas
Simeone dan Luis Enrique sebenarnya memiliki banyak kesamaan dalam hal intensitas tinggi, karakter kuat, dan kemampuan membangun kultus kepribadian di klub. Tapi di Rose Bowl, perbedaan mereka justru lebih mencolok daripada persamaannya.
Luis Enrique yang pernah hampir melatih Atletico pada 2011, kini memimpin PSG dengan pendekatan yang modern. Timnya bergerak lincah, menguasai bola dengan baik, dan penuh dengan kreativitas.
Sementara Atletico di bawah Simeone terlihat kaku dan kehilangan sentuhan magis atau keganasan yang menjadi ciri khas era Diego Godin dulu. “Kami butuh lebih banyak penguasaan bola dan kami harus menunjukkan karakter,” ujar Simeone usai pertandingan.
Dua hal yang justru ditunjukkan dengan gemilang oleh PSG di bawah arahan Luis Enrique.
Krisis Identitas Atletico Madrid
Tim Atletico era keemasan dahulu dikenal dengan pertahanan baja, stamina luar biasa, dan mental tempur yang mengerikan. Mereka mampu mengubah pertandingan buruk menjadi kemenangan melalui kerja keras dan determinasi yang tinggi.
Namun, bagaimana kondisi tim sekarang ini? Pertahanan tak lagi solid seperti dulu, pemain veteran seperti Griezmann dan Koke mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan.
Yang paling mengkhawatirkan adalah mereka kehilangan karakter khas yang dulu ditakuti. Rodrigo De Paul mungkin satu-satunya pemain yang masih menyimpan jiwa “Cholismo”, tapi dia seperti suara yang berseru di padang gurun.
Kekalahan dari PSG ini semakin menegaskan bahwa Atletico bukan lagi tim yang dulu bisa menggetarkan para raksasa Eropa. November lalu mereka sempat mengalahkan PSG di fase grup Liga Champions, tapi itu terjadi sebelum Luis Enrique menemukan formula terbaiknya.
Keajaiban Luis Enrique dan Dominasi PSG
Luis Enrique telah melakukan transformasi yang luar biasa di PSG. Bukan hanya soal membeli pemain bintang seperti Kvaratskhelia atau Barcola, tapi bagaimana dia menciptakan tim yang lebih dari sekadar kumpulan bintang.
“Saat Luis butuh pemain sayap, mereka tinggal mengambil 70 juta euro dari bank,” ujar Simeone dengan nada yang terdengar iri. Namun, uang bukanlah segalanya dalam sepakbola modern.
Luis Enrique berhasil menciptakan alkimia yang menyatukan bakat individu menjadi mesin permainan yang mematikan. PSG sekarang bukan hanya mengandalkan bakat semata, tapi juga memiliki identitas permainan yang jelas.
Mereka memiliki stamina fisik yang prima dan mental juara yang dibutuhkan untuk meraih trofi Champions League pertama mereka musim lalu.
Titik Balik untuk Simeone?
Kekalahan ini memantik pertanyaan serius tentang masa depan Simeone di Atletico Madrid. Pelatih Argentina itu sudah bertahan selama 14,5 tahun, sebuah pencapaian yang luar biasa di dunia sepakbola modern.
Tapi seperti yang dikatakan Luis Enrique sendiri: “Saya tak akan bertahan separuh waktu itu.” Mungkin inilah saatnya Simeone mempertimbangkan fase baru, baik untuk dirinya maupun untuk Atletico.
Dengan sumber daya yang terbatas dibanding PSG, tugas Simeone memang semakin berat dari waktu ke waktu. Namun, sudah pasti para fans Atletico merindukan tim yang dulu bisa membuat lawan merasa ketakutan sebelum pertandingan bahkan dimulai.
Sumber:Bola.net
BACA JUGA: